Friday, October 26, 2012

Teori Konstruksi Sosial, Peta Dimensi Teori, dan Realitas Jihad


Teori Konstruksi Sosial, Peta Dimensi Teori, dan Realitas Jihad

Teori Konstruksi Sosial, Peta Dimensi Teori, dan Realitas Jihad
Oleh : Apip Sohibul Faroji, M.Ag. M.Si
Teori Konstruksi Sosial
Fokus studi Sosiologi adalah interaksi antara individu dengan masyarakat, demikian menurut Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan Sosiologi mempelajari gejala sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala sosial itu (Samuel, 1993:19). Sosiologi pengetahuan Berger menekuni makna yang ada dalam masyarakat. Lalu, makna yang bagaimana yang mesti ditekuni Sosiologi Berger? Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi ’teori makna’ Berger. Untuk memudahkan pembahasan, maka tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang aliran-aliran (peta) teori dalam Sosiologi. Kemudian; mencari jawaban dari; dimana posisi teori Berger? Terakhir, menggeluti makna perspektif Berger.
Ragam Aliran Teori Sosiologi
Secara sistematis, George Ritzer mengembangkan paradigma dalam disiplin sosiologi (Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm Science, 1980). Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Yakni; paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Sementara itu Ilyas Ba Yunus dan Farid Ahmad memaparkan (paradigma besar dalam sosiologi) menjadi tiga, yakni; struktural konflik, struktural fungsional, dan interaksi simbolik (Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, 1990).1 Sedangkan ilmuwan mazhab Frankfurt, Jürgen Habermas, membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis (Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, 2003). Sedikit berbeda dengan Habermas, Poloma membagi sosiologi (kontemporer) menjadi; naturalis, interpretatif, dan evaluatif (Sosiologi Kontemporer, cetakan kelima: 2003).
Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda
Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method dan Suicide.2 Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution)3. Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma ini.
Terutama dalam usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.4 Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat.5 Teori sistem (Parson) juga termasuk dalam paradigma ini.
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini. Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah; bagaimana memahami tindakan sosial dalam interaksi sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.6 Selain Teori Aksi (Weber), Teori Fenomenologis (Alfred Schutz), Interaksionalisme Simbolis (diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk dalam aliran ini. Juga, eksistensialisme. Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi penganut aliran ini adalah B. F. Skiner.
Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini menekuni ‘perilaku individu yang tak terpikirkan’. Fokus utamanya pada rewards sebagai stimulus berperilaku –yang diinginkan, dan punishment sebagai pencegah perilaku –yang tidak diinginkan. Berbeda dengan paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner dalam metodologinya, juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku sosial menggunakan metode eksperimen.
Ada dua teori yang masuk dalam “behaviorisme sosial”, yakni; sociology behavioral, dan teori pertukaran. Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan paradigma integratif. Menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan realitas; makro-obyektif (masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa), makro-subyektif (nilai, norma, dan budaya), mikro-obyektif (pola perilaku, tindakan, dan interaksi), dan mikro-subyektif (persepsi, keyakinan; berbagai segi konstruksi sosial tentang realita). Integrasi paradigma ini bukanlah murni pemikiran Ritzer.
Sejumlah pendahulunya, Abraham Edel (1959) dan George Gurvitch (1964) telah mengupayakan pengintegrasian makro-mikro ini. Integrasi paradigma Ritzer sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan kontinum mikro-makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan tindakan individual ke sistem dunia.7 Dalam karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique of the Global Credit Card Society, ia menggunakan gagasan C. Wright Mills (1959) tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit.8
Kritik Multi-Paradigma Ritzer
Penempatan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional oleh Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang mengasumsikan bahwa masyarakat senantiasa dalam konflik –menuju perubahan- berlawanan dengan struktural fungsional –yang mengasumsikan masyarakat terdiri dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing-masing yang saling terkait dan aktif, dan senantiasa membawa masyarakat menuju keseimbangan.
Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan perubahan sosial, sementara struktural-fungsional pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari pengabaian terhadap gejolak filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang menyebabkan adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain, menempatkan secara terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama, misalnya; antara fungsionalisme dengan teori pertukaran.9 Selain itu, paradigma integratif sebagai ‘konsensus’ antar paradigma, atau sebagai paradigma yang lebih lengkap –sehingga lebih akurat sebagai perspektif sosiologi- patut diperdebatkan.
Merumuskan teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan berbagai aliran untuk bersepakat. Tentu hal ini mendistorsi teori-teori yang ada, dari berbagai paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan paradigma integratif ini sebagai paradigma tersendiri yang berbeda dengan paradigma-paradigma sebelumnya. Atau, menempatkan sebagai paradigma ke-empat setelah; paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Metateori Ritzer tak mampu menampung tumbuhnya berbagai teori alternatif baru dewasa ini. Kemunculan teori-teori kritis –dengan ragam alirannya, tak mampu ditampung dalam kerangka metateori Ritzer. Karena itu, pemetaan Ritzer tak lagi tepat untuk menggambarkan perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin menampakkan bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan interaksi sombolik) tak lagi relevan.10

No comments:

Post a Comment